Sedangkan mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah mengambil jalan tengah dalam merumuskan masalah ini. Menurut mereka, wajibnya berijtihad hanya bagi segelintir orang yang sudah mencapai level mujtahid. Sedangkan orang awam (orang yang tidak memenuhi kereteria mujtahid) kewajibannya adalah taklid. Di antara argumentasi yang mereka paparkan;
ΩَΨ³ْΩَٔΩُΩْٓΨ§ Ψ§َΩْΩَ Ψ§ΩΨ°ِّΩْΨ±ِ Ψ§ِΩْ ΩُΩْΨͺُΩ
ْ ΩَΨ§ ΨͺَΨΉْΩَΩ
ُΩْΩَۙ
"Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui." (An-NaαΈ₯l [16]:43).
Dengan mengikuti pendapat mayoritas ulama, maka wajib bagi setiap orang awam merujuk pada pendapat mujtahid dalam melaksanakan tuntunan syariat. Dalam perujukannya, dia harus memilih figur yang hendak dijadikan panutan. Dengan demikian, maka setiap orang yang belum mencapai tingkatan mujtahid, wajib bermazhab.
Secara spesifik istilah mazhab dalam konteks ini dikerucutkan sebagai ciri khas seseorang yang telah mencapai predikat mujtahid, berupa produk-produk furu'iyah yang digali dari dalil-dalil yang bersifat asumtif.
Kemudian, setelah seorang muqallid menjatuhkan pilihannya untuk mengikuti mazhab tertentu, apakah ia harus konsisten dengan mazhab tersebut dalam menyikapi semua persoalan-persoalan seputar furu'iyah? Mengenai hal ini, Syekh Wahbah az-Zuhayli, dalam kitab Usulul Fiqh al-Islami, menyebutkan dua pendapat;
Pertama, wajib konsisten dalam perujukan pada suatu mazhab disegala persoalan. Pendapat ini dilandasi oleh argumen, bahwa ketika seorang muqallid telah memilih mazhab tertentu, berarti ia telah meyakini kebenaran mazhab tersebut. Maka, dia waib berpegang teguh pada mazhab yang diangapnya benar.
Kedua, tidak wajib konsisten pada mazhab tertentu. Sehingga, ketika muqallid sudah menjatuhkan pilihannya pada satu maazhab, sah-sah saja dia berpindah ke mazhab lain, dengan tetap mengikuti konvensi yang telah dirumuskan oleh ulama. Pendapat inilah yang kemudian ditarjih oleh Imam an-Nawawi.