Jumat, 31 Maret 2023

Problematika Zakat Fitrah Yang Sering Terjadi

        Mengeluarkan zakat bagi orang yang wajib merupakan rukun ke tiga dari lima rukun-rukun Islam. Setiap umat muslim wajib menunaikannya, sesuai dengan koredor-koredor yang telah ditetapkan oleh syariat. Baik laki-laki maupun perempuan, baik yang tua maupun yang muda.

       Akhir-akhir ini, tidak sedikit orang yang salah kaprah dalam ketentuan-ketentuan mengeluarkan zakat yang sesuai dengan aturan syariat. Lebih-lebih zakat fitrah. Sehingga hal ini menyebabkan tidak gugurnya kewajiban berzakat. Di antara problem terkait zakat fitrah yang sering masyarakat salah kaprah ketika merealisasikannya adalah:
       
1. Zakat fitrah menggunakan nominal (uang)

Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah tidak memperbolehkan zakat dengan uang, tapi kalangan Hanafiyah memperbolehkannya, bahkan menganjurkannya. Karena hal itu lebih bermanfaat bagi orang-orang faqir. Sebagaimana yang tertera dalam kitab al-Fiqhu alal Mazahib al-Arba'ah jilid 1 halaman 567:

ويجوز له أن يخرج قيمة الزكاة الواجبة من النقود، بل هذا أفضل؛ لأنه أكثر نفعاً للفقراء

Artinya: "Boleh baginya (muzakki) mengeluarkan nominal zakat yang wajib dengan mata uang, bahkan hal itu lebih utama. Karena, manfaatnya kepada orang faqir lebih banyak."

Hanya saja ukuran sha' Hanafiyah berbeda dengan ukuran imam-imam yang lain.

Kesimpulannya, satu sha' itu setara dengan: 
1. 3,8 kg menurut Mazhab Hanafi. 
2. 2,75 kg menurut Mazhab Maliki. 
3. 2,75 kg menurut Mazhab Syafi’i. 
4. 2,75 kg menurut Mazhab Hanbali.

Kalau dinominalkan, zakat menggunakan uang, nilainya minimal 100 ribu menurut kalangan Hanafiyah. Sebagaimana yang disampaikan KH. Muhibbul Aman Aly. Tekan di sini

Solusi: Dari amil zakat yang ada di wilayah tersebut menyediakan beras untuk ditukarkan dengan nominal yang diberikan oleh muzakki (orang yang zakat), lalu beras tersebut dialokasikan kepada mustahiq (orang yang berhak menerima zakat). Sedangkan pertukaran uang dengan beras yang terjadi antara orang yang zakat dan amil merupakan teransaksi jual beli.

2. Zakat fitrah kepada kyai

4 mazhab sepakat tidak memperbolehkan zakat fitrah kepada kyai atau guru ngaji. Adapun kalangan Malikiyah yang mengatakan bolehnya zakat kepada kyai atas nama  sabilillah, itu dalam ranah zakat mal (harta), bukan zakat fitrah. Sebab, zakat fitrah dalam Malikiyah hanya diberikan kepada faqir dan miskin. Sebagaimana yang tertera dalam kitab al-Fiqhu alal Mazahib al-Arba'ah jilid 1 halaman 569:

وشرط في صرف الزكاة لواحد من الأصناف المذكورة في الآية أن يكون فقيراً أو مسكيناً، حراً مسلماً ليس من بني هاشم

Artinya: "Dalam mengalokasikan zakat kepada salah satu golongan yang disebutkan dalam ayat disyaratkan faqir atau miskin, merdeka, muslim, dan bukan golongan Bani Hasyim."

Solusi: Kalau memang ingin memaksakan zakat fitrah kepada kyai atau guru ngaji, cari yang miskin atau faqir, jangan yang kaya.

3. Klarifikasi amil zakat

Amil zakat, 4 mazhab sepakat harus diangakat oleh pemerintan. Oleh karena itu, kasus yang terjadi di masyarakat, dalam pemberian zakat kepada pengurus masjid atau musholla, tidak dikategorikan amil zakat, melainkan hanya sekedar wakil dari muzakki.

Perlu diketahui, bahwa zakat yang diqobd (diambil) oleh amil zakat dapat menggugurkan kewajibannya, meskipun belim sampai kepada mustahik. Namun, zakat yang hanya diqobd oleh wakil, tidak dapat menggugurkan kewajibannya, sampai siwakil telah memberikannya kepada mustahik.

NB: Hasil Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU tahun 2017 yang dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat menetapkan, bahwa amil dibagi menjadi dua. Pertama adalah ‘amil tafwidl, yaitu amil yang diberi kewenangan secara menyeluruh untuk mengurusi harta zakat. Kedua, ‘amil tanfidz, yaitu amil yaang diberi kewenangan terbatas dalam mengurusi zakat seperti diberi tugas sebatas memungut dan mendistribusikannya.
Cek NU Online

1 komentar: