Minggu, 24 Maret 2024

Humanisme

                 Setiap manusia memiliki otoritas penuh dalam menjalani kehidupannya tanpa ada siapa pun yang bisa menghalang-halangi. Hal ini didasari oleh fitrah manusia yang sejatinya terlahir dalam keadaan merdeka; Ia telah berhak melakukan aktivitas seperti apapun, selagi hal itu tidak bertentangan dengan norma-norma yang ditetapkan oleh agama.
                   Nilai kemanusiaan dalam kehidupan merupakan hal yang urgen. Oleh sebab itu, syariat dari hulu ke hilir berupaya untuk memutus mata rantai perbudakan di muka bumi, karena tidak mencontohkan nilai kemanusiaan, melainkan menjadikannya layaknya binatang. Selain itu, di antara tindakan yang tidak sesuai dengan peri kemanusian adalah penjajahan di atas dunia.
                Bukti nyata anjuran syariat terkait pemutusan perbudakan di muka bumi, terabadikan dalam al-Quran Surat al-Balad ayat 12 dan 13, yang artinya: “Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu (yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya).”
                Pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa pekerjaan besar yang sulit dilaksanakan antara lain adalah memerdekakan budak. Hal itu karena perbudakan pada waktu itu sudah sangat dalam merasuk ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik di Arab maupun di luarnya. Segala aktivitas manusia, seperti perdagangan, pertanian, kemiliteran, bahkan kehidupan sehari-hari, tidak akan bisa berjalan dengan baik tanpa adanya budak yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat. Namun, pada ayat setelahnya, Allah meminta umat Islam agar menghapus perbudakan.
                    Pelaksanaannya memang tidak sekaligus, tetapi berangsur-angsur. Meski demikian, pada saat itu, orang-orang tetap merasa berat untuk merealisasikannya. Pemerdekaan budak juga dilakukan melalui cara-cara lain, misalnya dengan sanksi pelanggaran-pelanggaran yang hukumannya adalah memerdekakan budak. Seperti dalam sanksi pembunuhan, zhihar, dan melanggar sumpah. Juga dengan cara memberi kesempatan kepada budak itu untuk menebus dirinya.
                   Terkait penjajahan di atas dunia, memang tidak ada dalil sarih yang melarangnya, baik dalam al-Quran maupun Hadis. Bahkan secara historis, sejarah mencatat beberapa kasus peperangan yang dilakukan oleh kaum Muslim untuk menaklukkan negara-negara lain yang masih berbasis non-Muslim. Jawabannya, ada dua poin mendasar yang membedakan penjajahan saat ini dengan yang dilakukan oleh umat Islam di era keemasan Islam;
                      Pertama, mengesakan Allah. Tidak diragukan, bahwa semua penaklukan yang dilakukan oleh umat Islam pada era shahabat atau generasi setelahnya tidak lain untuk memperluas daerah kekuasaan Islam. Dengan demikian, mereka bisa lebih mudah dan leluasa untuk mengajak orang lain untuk masuk Islam atau tunduk di bawah kekuasaan negara Islam.
                       Kedua, etika dalam berperang. Dalam perang, ada beberapa etika yang harus dipenuhi untuk menghindari peperangan yang membabi buta. Di antara etika dalam berperang ialah tidak menewaskan anak-anak kecil, wanita, dan orang-orang yang lemah. Oleh karena itu, semua penaklukan yang dilakukan oleh umat Islam banyak mendapat respon baik, bahkan dari pihak musuh. Beda halnya dengan penjajahan yang terjadi saat ini.
                     Berdasarkan ketentuan ini, maka penjajahan atau perbudakan di atas dunia harus dihapus, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan. Lebih-lebih bila hal itu dilakukan dengan cara membabi buta, sehingga memicu terjadinya pertumpahan darah pada orang-orang lemah dan anak-anak kecil yang tak berdosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar