Minggu, 20 Oktober 2024

Urgensitas Bermazhab

Terdapat perbedaan pendapat yang sengit mengenai hukum taklid dalam masalah furu' (cabang-cabang syariat). Kalangan Zhahiriyah, Muktazilah, dan sebagian dari sekte Syiah Imamiyah, mewajibkan ijtihad dan melarang taklid secara general kepada setiap orang mukallaf. Beda halnya dengan kalangan Hasyawiyah dan Ta'limiyah. Mereka berasumsi, wajibnya taklid dalam ranah furu'iyah, sebagaimana teori mereka dalam ranah akidah. 

Sedangkan mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah mengambil jalan tengah dalam merumuskan masalah ini. Menurut mereka, wajibnya berijtihad hanya bagi segelintir orang yang sudah mencapai level mujtahid. Sedangkan orang awam (orang yang tidak memenuhi kereteria mujtahid) kewajibannya adalah taklid. Di antara argumentasi yang mereka paparkan;

فَΨ³ْΩ€َٔΩ„ُوْٓΨ§ Ψ§َΩ‡ْΩ„َ Ψ§Ω„Ψ°ِّΩƒْΨ±ِ Ψ§ِΩ†ْ ΩƒُΩ†ْΨͺُΩ…ْ Ω„َΨ§ ΨͺَΨΉْΩ„َΩ…ُوْΩ†َۙ

"Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui." (An-NaαΈ₯l [16]:43). 

Dengan mengikuti pendapat mayoritas ulama, maka wajib bagi setiap orang awam merujuk pada pendapat mujtahid dalam melaksanakan tuntunan syariat. Dalam perujukannya, dia harus memilih figur yang hendak dijadikan panutan. Dengan demikian, maka setiap orang yang belum mencapai tingkatan mujtahid, wajib bermazhab. 

Secara spesifik istilah mazhab dalam konteks ini dikerucutkan sebagai ciri khas seseorang yang telah mencapai predikat mujtahid, berupa produk-produk furu'iyah yang digali dari dalil-dalil yang bersifat asumtif.

Kemudian, setelah seorang muqallid menjatuhkan pilihannya untuk mengikuti mazhab tertentu, apakah ia harus konsisten dengan mazhab tersebut dalam menyikapi semua persoalan-persoalan seputar furu'iyah? Mengenai hal ini, Syekh Wahbah az-Zuhayli, dalam kitab Usulul Fiqh al-Islami, menyebutkan dua pendapat;

Pertama, wajib konsisten dalam perujukan pada suatu mazhab disegala persoalan. Pendapat ini dilandasi oleh argumen, bahwa ketika seorang muqallid telah memilih mazhab tertentu, berarti ia telah meyakini kebenaran mazhab tersebut. Maka, dia waib berpegang teguh pada mazhab yang diangapnya benar.

Kedua, tidak wajib konsisten pada mazhab tertentu. Sehingga, ketika muqallid sudah menjatuhkan pilihannya pada satu maazhab, sah-sah saja dia berpindah ke mazhab lain, dengan tetap mengikuti konvensi yang telah dirumuskan oleh ulama. Pendapat inilah yang kemudian ditarjih oleh Imam an-Nawawi.

Sabtu, 19 Oktober 2024

Diluar Nalar

Sering kita temui beberapa kejadian-kejadian aneh yang dianggap diluar nalar atau tidak masuk akal, seperti yang banyak bermunculan di sosmed. Bahkan, tidak jarang hal itu dijadikan pertunjukan atau ajang pencarian bakat. 

Secara global, ulama membagi kejadian diluar nalar menjadi empat tipe. Hukumnya pun berbeda-beda meninjau faktor dan kredibilitas pelakunya. 

1. Mukjizat
Mukjizat merupakan kejadian diluar nalar yang dianugrahi langsung dari Allah kepada para nabi-Nya, tanpa adanya pembelajaran ataupun latihan. Di samping itu, ciri-ciri dari mukjizat biasanya bersamaan dengan pengakuan. 

2. Karomah
Seperti halnya mukjizat adalah karomah. Hanya saja, karomah diberikan kepada para kekasih Allah yang tidak sampai pada derajat nabi, seperti para wali atau orang-orang sholeh. Bedanya lagi, karomah tidak bersamaan dengan pengakuan. Bahkan karomah sering kali ditutup-tutupi oleh pemiliknya. 

3. Istidraj
Istidraj memiliki kesamaan dengan mukjizat dan karomah dalam segi didapatkan tanpa melalui proses pembelajaran atau latihan. Namun, istidraj hanya dimiliki oleh orang-orang fasik dan pendosa. Istidraj merupakan tipu daya dari Allah kepada hambanya yang sering melakukan maksiat, namun hidupnya terus dilimpahi kenikmatan. Dalam al-Quran Allah telah menegaskan;

وَΨ§Ω„َّΨ°ِيْΩ†َ ΩƒَΨ°َّΨ¨ُوْΨ§ Ψ¨ِΨ§ٰيٰΨͺِΩ†َΨ§ Ψ³َΩ†َΨ³ْΨͺَΨ―ْΨ±ِΨ¬ُΩ‡ُΩ…ْ Ω…ِّΩ†ْ Ψ­َيْΨ«ُ Ω„َΨ§ يَΨΉْΩ„َΩ…ُوْΩ†َ، وَΨ§ُΩ…ْΩ„ِيْ Ω„َΩ‡ُΩ…ْۗ Ψ§ِΩ†َّ ΩƒَيْΨ―ِيْ Ω…َΨͺِيْΩ†ٌ

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku akan memberikan tenggang waktu kepada mereka. Sungguh,rencana-Ku sangat teguh.” (QS. Al-‘Araf : 182-183).

4. Sihir
Hal diluar nalar yang terakhir ini sangat sering terjadi pada zaman sekarang. Parahnya, banyak pelakunya yang tidak menyadari akan hal itu, sehingga membuat mereka terlena dan menganggapnya sebagai anugrah ilahi. Sihir memiliki perbedaan signifikan dengan tiga tipe di atas. Sebab, hanya bisa dihasilkan dengan cara belajar dan latihan. Di samping itu, sihir hanya dilakukan oleh seorang pendosa dan pelaku maksiat. 

Dari keempat jenis kejadian diluar nalar di atas, hanya sihir yang tidak dilegalkan oleh syariat. Rosulullah telah menegaskan dalam sabdanya agar menjauhi sihir:

Ψ§Ψ¬ْΨͺَΩ†ِΨ¨ُوا Ψ§Ω„ْΩ…ُوبِΩ‚َΨ§Ψͺِ Ψ§Ω„Ψ΄ِّΨ±ْΩƒُ Ψ¨ِΨ§Ω„Ω„َّΩ‡ِ وَΨ§Ω„Ψ³ِّΨ­ْΨ±ُ

Artinya: "Jauhilah oleh kalian semua dosa-dosa besar yang membinasakan, di antaranya adalah menyekutukan Allah dan pelaku sihir." (HR. Al-Bukhori : 5322).

Memehami Perbedaan Waswas dan Keraguan

Waswas dan keraguan merupakan dua hal yang mempunyai perbedaan signifikan, baik secara ciri dan konsekuensinya, tapi banyak orang tidak mengetahui dan membedakan antara keduanya.

Keraguan adalah keadaan mental di mana pikiran tetap berada di antara dua proposisi yang bertentangan dan tidak yakin pada keduanya. Timbulnya keraguan dalam pikirin sering kali disebabkan oleh landasan pengetahuan yang minim, sehingga membuat bimbang. 

Sedangkan waswas adalah bisikan nafsu atau setan yang menjadikan seseorang mencurigai sesuatu tanpa adanya landasan dan menumbuhkan opini-opini jelek. Oleh sebab itu, waswas sering kali terjadi pada hal-hal yang bernuansa ibadah, seperti shalat, whudu, menghilangkan najis, dll. 

Secara syariat, setiap orang dianjurkan untuk berhati-hati dalam setiap tindakan, perkataan, dan keyakinannya. Lebih-lebih jika berkaitan dengan masalah ibadah. Sebab, ibadah yang dilakukan dengan sembrono dan tanpa kehati-hatian, sering kali menyebabkan ketidakabsahan. 

Seperti halnya dalam kasus pakaian anak kecil yang tidak bisa membedakan najis dan suci. Meskipun fikih menvonisnya tetap suci selagi tidak nyata ada najis yang menempel pada pakaian tersebut, tapi mayoritas ulama menganjurkan untuk tidak memakainya dengan alasan berhati-hati. 

Berbeda jika semua itu timbul dari perasaan waswas yang tidak berlandasan, ulama sepakat untuk tidak berhati-hati dan membuang jauh-jauh pikiran tersebut, karena itu hanya bisikan nafsu dan setan yang ingin menjerumuskan pelakunya ke jurang kesesatan. 

Konklusinya, pada uraian di atas, penulis ingin memberi tahu bahwa saat pikiran kita dilanda keraguan, seyogyanya untuk memilah terlebih dahulu dengan jeli. Apakah itu timbul dari hati atau waswas yang timbul dari bisikan setan? Jika murni dari hati, maka kita dianjurkan berhati-hati. Tetapi jika berupa waswas tanpa landasan, maka kita harus membuang jauh-jauh keraguan itu.