Aku hanya menoleh dan memandanginya dari dari kejauhan. Ia menghampiriku lalu menmegangi tanganku.
"Apa yang kau lakukan?" Tanyaku.
Ia tidak menjawab, melontarkan senyuman tipis. Tanpa kusadari Daniel meletakkan sesuatu di tanganku. Saat kubuka, ternyata sebuah gelang plastik dengan manik-manik kecil berbentuk love.
"Ambillah! Aku membuatnya untukmu." Ucap Daniel.
"Kau seharian membuat gelang ini hanya untukku?"
"Tidak juga, itu hanya sebentar." Ia mencubit pipiku.
"Auuu, itu sakit."
Daniel orangnya emang nyebelin, suka bikin orang lain geram. Tapi entah kenapa aku bisa jatuh cinta padanya.
Daniel tersenyum dan mendekatkan bibir merahnya di telingaku, "Kau tau? Aku menyukaimu."
"Ap" Suaraku tertahan. Daniel membungkam mulutku.
"Kau tak perlu menjawabnya, aku sudah tahu." Ia pun pergi sampai menghilang dari pandanganku. Sedangkan aku masih berdiri mematung di tempat, memikirkan apa yang baru ia katakan.
Tak terasa banyak siswa yang menatapku dengan tatapan misterius, saat aku berjalan menuju kelas. Mungkin mereka semua telah menganggapku gila, sebab melihat tingkahku yang agak aneh, senyam-senyum sendirian. Sebahagia itukah aku dengan kata-kata yang diucapkan oleh Daniel? Dalam benakku.
Setibanya di depan kelas, seseorang menarik tanganku. Dia Zie, teman karibku sejak kelas tiga SD.
"Kita mau ke mana?" Tanyaku.
"Ikut aja!"
Sampai di ruang perpustakaan, Zie menghentikan langkahnya dan melepaskan tanganku dari genggamannya.
"Perpus? Ngapain kita ke sini?" Tanyaku heran.
Setahuku, Zie adalah orang yang paling susah saat diajak untuk belajar.
"Manda, kamu tau gak?" Tanya Zie.
"Apa?" Aku tanya balik. Dari raut wajahnya, Zie tampak bahgia. Akhirnya aku bisa melihatnya kembali tersenyum. Gumamku.
"Aku telah menemukan cinta sejatiku."
"Benarkah?" Aku senang mendengarnya. Zie sudah bisa move on dengan mantannya yang lama.
"Manda, apakah kau tau siapa pria yang aku sukai?" Tanya Zie kapadaku. Kedua tangannya mengepal kedua pundakku.
"Pasti Rehan." Aku menebak.
Zie menggelengkan kepala.
"Adit." Tebakku kedua kalinya.
"Ayolah Manda, kau kurang peka pada sahabatmu ini."
Aku termenung, mencerna pria tipe Zie.
"Pria itu adalah Daniel." Bisik Zie di telingaku.
Refleks wajahku memucat menjadi datar dan mataku tercengang. Rasanya seakan-akan hati ini mendidih, meletup-letup saat mendengar kenyataan ini. Di satu sisi aku menyukai Daniel, di sisi lain Zie adalah sahabatku sejak kecil. Kalau aku memilih Daniel, maka aku harus mengakhiri persahabatan ini. Tapi kalau aku pilih Zie, maka aku harus merelakan Daniel bahagia bersamanya.
"Manda, kenapa kau bengong?" Zie melepaskan kedua tangannya dari pundakku. "Apa kau tidak senang mendengarnya?"
"Enggak kok, aku aku senang mendengarnya. Kau sangat cocok dengan Daniel." Aku tersenyum, mencoba menutupi luka ini darinya. Meskipun itu sangat menyakitkan bagiku.
"Syukurlah." Zie melempar senyuman. "Kalau begitu, ayo kita masuk!" Ajak Zie.
Aku berangguk, tersenyum tipis.
***
"Sss...Manis." Suara Rehan berbisik dari belakang, saat kami sedang di kelas. Namun, aku tak meresponnya.
Ia selalu menyingkat namaku, Amanda Elisa menjadi Manis. Padahal, seharusnya Malis, bukan Manis.
"Manis." Rehan memanggil lagi yang kedua kalinya, tapi agak keras.
Semua mata tertuju padaku dan Rehan. Aku dan dia menjadi pusat perhatian seluruh siswa di kelas. Tak terkecuali Bu Retha yang sedang menjelaskan di depan.
"Rehan, Manda, kalian bisa melanjutkan ngobrolnya nanti saat pulang sekolah!" Bu Retha menatapku dan Rehan dengan tatapan kesal.
"Maaf Bu..." Ucapku menunduk malu.
Tak selang lama secarik pesawat kertas mendarat di atas mejaku. Di kedua sayapnya tertulis, "Manis, nanti kita pulang bareng!"
Aku menoleh ke belakang. Rehan tersenyum, menggerak-gerakkan kedua alisnya.
"Hhh." Aku mengernyit, memalingkan wajah darinya.
Hari ini adalah hari paling mengenaskan dalam hidupku, setelah melalui semua kejadian tadi. Bahkan saat pulang sekolah, hatiku masih kocar-kacir.
"Manda..." Itu suara Daniel.
Aku percepat langkahku, sebisa mungkin untuk tidak melihat wajahnya. Namun, kecepatanku tidak ada apa-apanya bagi Daniel. Ia berhasil menyalipku dan menghalangi jalanku.
"Manda, ada apa denganmu? Kau tidak seperti biasanya?" Tanya Daniel cemas. Daniel memegangi kedua pundakku, tapi aku langsung menepisnya.
"Daniel, tolong jangan temui aku lagi!"
Daniel mencekal erat tangan kananku. "Kau akan pulang bersamaku."
Aku mencoba menepisnya, tapi tidak bisa. Tiba-tiba Rehan datang dan mencekal tangan kiriku. "Tidak! Dia hanya akan pulang bersamaku."
"Hei, kau siapa?" Tanya Daniel membentak.
"Kau yang siapa?" Rehan bertanya balik.
Mereka berdua saling menarik-narik tanganku. Seolah-olah aku mainan yang diperebutkan oleh dua anak kecil yang sedang bertengkar.
"Stop! Lepaskan tanganku!" Bentakku emosi.
Akhirnya Daniel dan Rehan melepaskan tanganku dan aku pun pergi meninggalkan mereka berdua.
***
Keesoakn harinya...
"Hei...Manda." Zie memanggilku, saat aku ada di ruang Laboratorium.
"Zie, sedang apa kau di sini?"
"Manda, aku ingin menceritakan mimpi burukku tadi malam."
"Memangnya kau mimpi apa?"
"Aku bermimpi Daniel."
"Seharusnya kau senang?" Tanyaku heran.
"Seharusnya begitu, tapi..." Zie terdiam sejenak.
"Tapi kenapa?"
Suara Zie mulai tersedu-sedu, tanpa kusadari ia telah mengeluarkan cairan bening dari kedua matanya.
"Hei, kenapa kau menangis?" Aku ambil kedua pipi Zie, menghapus air matanya.
"Dalam mimpiku Daniel menolak cintaku dan lebih memilih wanita lain." Tangisan Zie makin menjadi-jadi.
Aku pun memeluknya. "Tenanglah! Itu hanya mimpi."
"Tapi aku takut mimpi itu jadi kenyataan."
"Akan kupastikan itu tidak akan pernah terjadi."
Setidaknya begitu usahaku untuk mempertahankan persahabatan ini yang telah aku jalani sembilan tahun lamanya. Aku tidak ingin membuang hubungan persahabatan ini hanya karena aku egois memikirkan kebahagiaanku sendiri.
Ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Merelakan orang yang kita cintai bersama dengan yang lain adalah ujian terberat dalam roda kehidupan. Sehari, seminggu, sebulan, bahkan setahun tidak cukup untuk menghapus memori dalam ingatan. Kecuali dengan merestarnya kembali ke pengaturan awal.
Sepulangnya dari sekolah, tiba-tiba seseorang menutup kedua mataku dari belakang. Namun, dari gelang yang ia pakai, aku tahu kalau ia adalah Daniel.
"Daniel, tolong jangan ganggu aku!" Bentakku, menepis kedua tangannya.
"Hei, kenapa kau marah? Ada apa denganmu? Apa kau sakit?" Tanya Daniel khawatir.
"Tolong jangan temui aku lagi!" Ucapku menundukkan kepala. Aku tidak kuat menatap wajahnya. Seakan-akan hati ini akan retak sebantar lagi.
"Manda, tatap mataku!"
Ia telah menyihirku. Mataku berlinang air mata. Aku pun meluapkan semua isi hatiku padanya dan berakhir di pelukannya.
"Aku tau, ini sangat berat bagimu." Daniel mengelus rambutku.
Pada saat itu juga, aku melihat Zie sedang mengawasiku dan Daniel dari kejauhan, lalu ia pergi saat mengetahui kalau aku melihatnya.
Tamat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar