Kamis, 18 April 2024

Goresan Takdir

Namaku Putri, perempuan lajang yang sudah berumur 25 tahun. Bagi kaum hawa, itu mungkin usia up-side untuk menempuh jenjang pernikahan. Kini aku hidup terbengkalai di sebuah kos-kosan kecil yang hanya bisa ditempati oleh satu orang.

Ayah, ibu, dan adikku telah meninggal 7 tahun lalu, akibat kecelakaan saat kami akan liburan ke kota dewata Bali. Sabuah truck menabrak mobil kami, dari arah berlawanan saat kami melintasi persimpangan jalan, sehingga membuat mobil kami terlempar jauh dan bergulir sampai ke dasar jurang. Dari tragedi itu, tidak ada satu pun yang terselamatkan kecuali aku.

Namun, aku mengalami beberapa luka yang parah di bagian kepala dan kaki, sehingga mengharuskanku dirawat inap di rumah sakit selama berbulan-bulan.

Sejak meninggalnya keluargaku, perusahaan yang dikelola oleh ayahku bangkrut karena tidak ada yang mengurusi. Sedangkan toko emas milik ibuku disita oleh bank.

Saat ini, aku hidup sendirian, tanpa keluarga, tanpa seorang teman, tanpa satu pun orang yang mengurusi. Setiap bangun tidur, aku hanya bisa menatap sebuah cermin tua yang lusuh di pojok bilikku, meratapi pahitnya takdir.

Rutinitasku di pagi hari, berolahraga dengan lari-lari kecil di halaman rumah, untuk menghirup segarnya udara pagi. Mengendarai kendaraan roda empat, dengan dua roda besar di bagian belakang yang aku setir dengan kedua tanganku.

Kedua kakiku telah tiada, akibat tragedi kecelakaan itu. Aku hanya bisa menjalani aktivitasku setiap harinya dengan kursi roda tua ini yang telah rapuh dan berkarat.
Sesekali aku buka facebook dengan akun samaranku, untuk mengintip status yang di post oleh Alex, mantan kekasihku.

"Hhh, ia masih tampan seperti dulu." Ucapku memandangi fotonya yang tersenyum lebar, merangkul perempuan yang ada di sampingnya.

"Siap menjalani hubungan pernikahan, dua pekan mendatang." Tulis Alex pada caption fotonya.

Ia sekarang sudah bahagia bersama perempuan cantik yang ia anggap sebagai tunangannya. Namanya Lusiana, akrab dipanggil Ana. Aku, Alex, dan Ana, dulunya adalah teman satu kelompok di kelas matematika.

Setelah aku dan Alex saling mengenal satu sama lain, timbul benih-binih perasaan antara kita yang ber-ending hubungan tanpa status. Sedangkan Ana, melanjutkan studinya di luar negeri. Lebih tepatnya di negeri Sakura, Jepang. Itu karena desakan orang tuanya. Tapi entah mengapa ia dan Alex sekarang bisa tunangan? Dunia ini memang sempit. Gumamku.

"Putri, aku ingin kau menjadi pendamping hidupku, pertama dan terakhir."
Itulah salah salah satu janji Alex yang pernah ia utarakan kepadaku 8 tahun lalu.

Aku masih ingat betul ucapan-ucapannya. Ketika itu, aku dan Alex berada di caffe ternama di Bekasi. Ia memasangkan cincin emas warisan keluarganya itu di jari manisku. Ia juga berani mengecup keningku di tengah-tengah kerumunan orang.

Kadang aku tersenyum, kadang aku meneteskan air mata, saat mengingat semua hal itu. Sekarang semua itu telah menjadi kenangan yang menyisakan luka mendalam.

Sejak Alex tahu keadaanku akibat kecelakaan itu, ia tidak lagi menyukaiku dan tidak pernah menemuiku. Bahkan ia merasa jijik saat melihatku, dengan tiga goresan besar di bagian wajah dan kaki yang hanya menyisakan setengah paha. Ia juga telah memblokir semua akunku di sosmednya. Aku hanya bisa mengintipnya dengan akun samaranku yang telah diprivasi.

"PUTRIII." Teriak pemilik kos-kosan.

"Ow no, aku belum membayar cicilan bulanan." Aku mengepak dahiku.

"Heh Putri, kapan kamu bayar cicilannya? Kamu sudah telat dua minggu." Matanya melototiku, seakan-akan mau keluar dari kelopaknya.

"Maaf bu, beri aku tambahan waktu. Pekan depan aku pasti akan melunasinya."

"Kamu selalu bilang begitu."

"Tolong bu, sekarang aku masih belum punya uang." Tanganku mengepal di hadapannya.

"Oke, aku beri kamu waktu satu pekan. Tapi kalau kamu tidak bisa menepatinya, kamu harus angkat kaki dari tempat ini!" Bentak perempuan paruh baya itu.

"Baik bu." Jawabku menundukkan kepala.
Wanita itu pun pergi dengan membawa muka kesal. 

Aku masih berada di halaman rumah, duduk di kursi roda, untuk menghangatkan badan dengan menangkap sinar matahari pagi.

Pekerjaanku saat ini adalah menjual salah satu produk cosmetic via online. Pendapatannya memang tak seberapa, tapi hanya itu yang aku mampu. Kecelakaan itu telah mengubah segalanya dariku. Merenggut kebahagiaanku, merusak karirku, dan menjatuhkan harga diriku. Semua orang menganggapku layaknya sampah yang berserakan di sudut-sudut pedesaan terpencil.

Pking... suara notivikasi WAku. Itu chat dari salah satu konsumenku. Ia mengirimiku foto wajahnya yang agak kemerah-merahan, sambil memegang serum yang ia beli dariku.
Aku terdiam, memandangi foto yang ia kirim, berusaha memahami apa yang ingin ia katakan padaku.

Pking..."Kau harus tanggung jawab!"

Pking..."Gara-gara sereum yang kau jual wajahku jadi rusak."

Pking..."Aku akan melaporkanmu ke pihak yang berwajib."

Ia tidak memberiku kesempatan untuk membalas chatnya, sampai akhirnya aku bertekad untuk menelponnya.

"Pokoknya kau harus tanggung jawab. Sebagai gantinya kau harus bayar uang 10.000.000.00 kepadaku. Kalau tidak, aku akan melaporkan produk yang kau jual kepada polisi." Ia langsung menutup telponnya, setelah meluapkan semua keluh kesahnya dengan produk cosmetic yang aku jual.

Hari ini, yang bisa aku lakukan hanya menunggu waktu yang tepat yanng telah Allah catat pada goresan pena takdirku. Membangun rumah di kolong-kolong jembatan dengan bermodalkan kardus bekas yang tak terpakai atau menjalani kehidupan baru di balik jeruji-jeruji besi bersama kawanan makhluk yang tak bersahabat dengan uang.

Tamat…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar