Kamis, 18 April 2024

Wanita Iblis

Dor
Dor
Dor

Tiga tembakan terakhir dilepaskan oleh salah satu anak buahku. Peluru itu melesat tepat di jantung Doni, adik tiriku yang sering memperlakukanku layaknya binatang. Baru kali ini aku merasakan darah segar yang menempel di kakiku dengan perasaan bahagia. Namun, hatiku belum merasa puas dibandingkan semua kejahatan yang pernah keluarga ini lakukan kepadaku.

Setapak demi setapak kakiku melangkah menuju perempuan yang selama ini aku anggap sebagai mama tiriku itu. Dengan tangan dan mulut yang disegel, dia hanya bisa menyucurkan air mata menyaksikan anak bungsunya terbunuh dengan sadis.

"Maaaaah, mama gak papa kan?" Sapaku, mengelus-elus rambutnya yang acak-acakan. 

"Mama tenang aja, sebentar lagi mama akan ketemu lagi sama Doni." Kutarik rambut perempuan itu sampai menjerit kesakitan.

Mata mama melototiku dan mulutnya bergerak-gerak, seakan-akan ada yang mau ia katakan. Aku pun membuka lakban yang yang ada di mulutnya dan sepontan mama meludahi wajahku. Aku tersenyum dan tertawa ringan. Tanpa pikir panjang, kuambil pukulan besi yang ada di tangan anak buahku, lalu kupulkan ke kepala mama, sampai mebuatnya tergeletak dengan kepala yang berlumuran darah.

"Cek perempuan itu!" Titahku ke salah satu anak buahku.

"Siap bos." Ia pun memeriksa pernafasan mama. "Dia belum mati." Kata anak buahku.
Tak lama dari itu, mama tersadar dan mulai membuka matanya.

"Baguslah, mama belum mati. Aku masih ingin mama menderita dan mati perlahan." Ucapku yang kala itu duduk di sofa, memakan apel, dengan posisi kaki yang tersusun di atas meja.

"Lisa, cukup! Kamu udah kelewatan." Mata mama melotot dan masih berani membentak-bentak di hadapanku.

"Hhh, kelewatan? Setelah mama membunuh mama kandungku dan membuatku menderita layaknya seorang budak. Parahnya lagi, mama yang menyebabkan kematian papa dan telah merampas semua harta kekayaannya." Tegasku dengan nada agak naik.

Perempuan paruh baya itu tertawa histeris mendengarkan ucapanku. "Dasar anak bodoh." Wanita itu masih sempat melontarkan kata-kata kotornya di hadapanku, sebagaimana yang acap kali ia katakan saat aku melakukan kesalahan dalam pekerjaanku. Itu membuat tekanan darahku naik. Aku refleks menghantam mama tiriku itu dengan vas bunga, sampai membuat wajahnya hancur tergores oleh pecahan-pecahan kaca dari vas busa itu.

"Maaf ya maaa, kalau itu sedikit sakit." Ejekku.

"Oh iya, sebelum mama mati, aku punya kejutan lagi untuk mama." Ucapku, menoleh ke kamar Kak Rara di lantai dua.

"Jangan coba-coba kau sentuh Rara!" Lagi-lagi tua bangka itu membentakku, tapi kustel tuli telingaku tanpa menggubris ocehannya.

Aku pun menaiki tangga untuk menjemput Kak Rara. Kakiku yang melangkah perlahan membuat suara sepatuku mendominasi. Tanpa kusadari mama hampir menikamku dari belakang dengan pisau pemotong buah yang ada di tangannya. Beruntung anak buahku sangat cerdik. Begitu melihat mama mengambil ancang-ancang menikamku, sepontan mereka menembak kedua kaki mama, sehingga membuatnya lumpuh tak berkutik.

***

Tok
Tok
Tok

"Kak Rara..." ia tidak merespon panggilanku.

"Kaaak, buka pintunya kak." Aku gerak-gerakkan gagang pintu kamar Kak Rara dengan keras.

Ceklek
Ceklek
Ceklek

"PERGI!" Teriak Kak Rara dari dalam kamar
Aku terus gerak-gerakkan gagang pintu itu, sampai akhirnya rusak dan pintu kamar Kak Rara terbuka sendirinya. Saat aku masuk ke dalam, terlihat Kak Rara berat di sudut kamarnya dengan posisi berjongkok, terngengeh ketakutan. Ditemani dengan boneka yang ia peluk, ia menutup telinganya dengan kedua tangannya.

Dari raut wajahnya, Kak Rara tampak sok dan panik saat melihat wajahku, tak ubahnya kambing kecil yang tertinggal dari kawanannya saat melihat seekor serigala yang akan menerkamnya.

"Kak Rara jangan takut, aku masih polos kayak dulu kok." Kuusap kedua pipi Kak Rara yang dibasahi genangan air mata.

"Lisa, maafin kakak!" Kakak tiriku itu mengepal kedua tangannya di hadapanku, mengharap aku mengasihinya.

Sepintas aku merasa kasihan melihat Kak Rara yang bertekuk lutut di hadapanku. Tapi kalau mengingat apa yang pernah ia lakukan kepadaku, dengan membuatku menjadi bahan tertawaan para siswa seantero sekolah, maka jalan untuk menebus dosanya hanya satu. Dia harus mati di tanganku.

Tanpa sepatah kata, aku tarik rambut Kak Rara, lalu menyeretnya keluar.

"Maaah, tolong aku mah!" Kak Rara menjerit dan memanggil-manggil mama.

Sampai di depan pintu kamar, aku jambakkan kepala Kak Rara ke pagar besi. Ia pun pingsan dengan kepala yang mengalirkan darah.

"RARAAA." Teriak mama, melihat Kak Rara yang mengenaskan.

"Mama pengen bertemu Kak Rara?" Tanyaku, menenteng rambut Kak Rara. "Tangkap ya maaah!" Badan Kak Rara kutendang dari depan kamarnya, membuat tubuhnya berguling-guling sampai lantai dasar.

"Dasar iblis." Mama mencaciku dengan melemparkan raut wajah yang murka.
Kak Rara yang kala itu sekarat layaknya hewan yang disembelih, berada di pangkuan mama. Begitulah karma, seorang pembunuh sudah sepantasnya dibunuh. Aku pun turun untuk menyelesaikan pembalasan dendam ini. Tidak akan aku biarkan satupun dari keluarga ini berjalan di atas muka bumi. Mereka semua akan kukirim ke neraka.

"Berikan itu padaku!" Pintaku, mengadahkan kedua tangan. Anak buahku memberikan kedua pistol yang ada di tangan kepadaku. Aku ingin mereka berdua hanya mati dengan tanganku.

"Tiga...Dua..." Aku hitung mundur, mengarahkan kedua pistol itu tepat ke kepala mama dan Kak Rara.

Mama hanya bisa menangis, meratapi ajal yang akan menjemputnya dan putri kesayangannya itu. Ia memeluk kepala Kak Rara yang berada di pangkuannya, dengan menutup kedua mata, seolah-olah bersiap untuk menjemput kematian.

"TUNGGUUU!" Terdengar suara yang tidak asing di telingaku dari luar.

Saat kuarahkan pandanganku pada suara itu, ternyata itu Justin. Dia adalah pria yang kusukai di sekolah, yang selalu membantuku saat ada orang yang ingin menyakitiku.

"Lisa, apa yang telah kau lakukan? Kau tidak seharusnya melakukan semua ini." Justin membujukku untuk mengakhiri pembantaian ini. Tapi tekadku untuk memutus mata rantai keluarga ini sudah bulat.

"Justin, maafkan aku." Kutarik kedua pelatuk pistol itu.

Dor

Tubuhku menjadi lemas, lalu terjatuh.

"LISAAA." Teriak Justin, menangkap tubuhku dan merangkulnya.

"Jangan bergerak!" Segerombolan polisi datang, menangkap semua anak buahku dan menyeretnya keluar.

Air mata Justin membasahi pipiku. Ia menangis tersedu-sedu melihatku yang tak berdaya. Peluru itu mematahkan beberapa tulang rusukku dan menembus ke dalam jantungku. Rasanya sangat sakit. Tetapi aku senang, orang yang kucintai mendampingiku saat sebelum aku pergi.

"Justin, kau harus tahu satu hal."
Justin hanya menundukkan kepala dan terus meneteskan air mata.

"Kau adalah satu-satunya orang yang aku cintai di dunia ini." Justin hilang dari pandanganku dan semuanya menjadi gelap.

Tamat...

Goresan Takdir

Namaku Putri, perempuan lajang yang sudah berumur 25 tahun. Bagi kaum hawa, itu mungkin usia up-side untuk menempuh jenjang pernikahan. Kini aku hidup terbengkalai di sebuah kos-kosan kecil yang hanya bisa ditempati oleh satu orang.

Ayah, ibu, dan adikku telah meninggal 7 tahun lalu, akibat kecelakaan saat kami akan liburan ke kota dewata Bali. Sabuah truck menabrak mobil kami, dari arah berlawanan saat kami melintasi persimpangan jalan, sehingga membuat mobil kami terlempar jauh dan bergulir sampai ke dasar jurang. Dari tragedi itu, tidak ada satu pun yang terselamatkan kecuali aku.

Namun, aku mengalami beberapa luka yang parah di bagian kepala dan kaki, sehingga mengharuskanku dirawat inap di rumah sakit selama berbulan-bulan.

Sejak meninggalnya keluargaku, perusahaan yang dikelola oleh ayahku bangkrut karena tidak ada yang mengurusi. Sedangkan toko emas milik ibuku disita oleh bank.

Saat ini, aku hidup sendirian, tanpa keluarga, tanpa seorang teman, tanpa satu pun orang yang mengurusi. Setiap bangun tidur, aku hanya bisa menatap sebuah cermin tua yang lusuh di pojok bilikku, meratapi pahitnya takdir.

Rutinitasku di pagi hari, berolahraga dengan lari-lari kecil di halaman rumah, untuk menghirup segarnya udara pagi. Mengendarai kendaraan roda empat, dengan dua roda besar di bagian belakang yang aku setir dengan kedua tanganku.

Kedua kakiku telah tiada, akibat tragedi kecelakaan itu. Aku hanya bisa menjalani aktivitasku setiap harinya dengan kursi roda tua ini yang telah rapuh dan berkarat.
Sesekali aku buka facebook dengan akun samaranku, untuk mengintip status yang di post oleh Alex, mantan kekasihku.

"Hhh, ia masih tampan seperti dulu." Ucapku memandangi fotonya yang tersenyum lebar, merangkul perempuan yang ada di sampingnya.

"Siap menjalani hubungan pernikahan, dua pekan mendatang." Tulis Alex pada caption fotonya.

Ia sekarang sudah bahagia bersama perempuan cantik yang ia anggap sebagai tunangannya. Namanya Lusiana, akrab dipanggil Ana. Aku, Alex, dan Ana, dulunya adalah teman satu kelompok di kelas matematika.

Setelah aku dan Alex saling mengenal satu sama lain, timbul benih-binih perasaan antara kita yang ber-ending hubungan tanpa status. Sedangkan Ana, melanjutkan studinya di luar negeri. Lebih tepatnya di negeri Sakura, Jepang. Itu karena desakan orang tuanya. Tapi entah mengapa ia dan Alex sekarang bisa tunangan? Dunia ini memang sempit. Gumamku.

"Putri, aku ingin kau menjadi pendamping hidupku, pertama dan terakhir."
Itulah salah salah satu janji Alex yang pernah ia utarakan kepadaku 8 tahun lalu.

Aku masih ingat betul ucapan-ucapannya. Ketika itu, aku dan Alex berada di caffe ternama di Bekasi. Ia memasangkan cincin emas warisan keluarganya itu di jari manisku. Ia juga berani mengecup keningku di tengah-tengah kerumunan orang.

Kadang aku tersenyum, kadang aku meneteskan air mata, saat mengingat semua hal itu. Sekarang semua itu telah menjadi kenangan yang menyisakan luka mendalam.

Sejak Alex tahu keadaanku akibat kecelakaan itu, ia tidak lagi menyukaiku dan tidak pernah menemuiku. Bahkan ia merasa jijik saat melihatku, dengan tiga goresan besar di bagian wajah dan kaki yang hanya menyisakan setengah paha. Ia juga telah memblokir semua akunku di sosmednya. Aku hanya bisa mengintipnya dengan akun samaranku yang telah diprivasi.

"PUTRIII." Teriak pemilik kos-kosan.

"Ow no, aku belum membayar cicilan bulanan." Aku mengepak dahiku.

"Heh Putri, kapan kamu bayar cicilannya? Kamu sudah telat dua minggu." Matanya melototiku, seakan-akan mau keluar dari kelopaknya.

"Maaf bu, beri aku tambahan waktu. Pekan depan aku pasti akan melunasinya."

"Kamu selalu bilang begitu."

"Tolong bu, sekarang aku masih belum punya uang." Tanganku mengepal di hadapannya.

"Oke, aku beri kamu waktu satu pekan. Tapi kalau kamu tidak bisa menepatinya, kamu harus angkat kaki dari tempat ini!" Bentak perempuan paruh baya itu.

"Baik bu." Jawabku menundukkan kepala.
Wanita itu pun pergi dengan membawa muka kesal. 

Aku masih berada di halaman rumah, duduk di kursi roda, untuk menghangatkan badan dengan menangkap sinar matahari pagi.

Pekerjaanku saat ini adalah menjual salah satu produk cosmetic via online. Pendapatannya memang tak seberapa, tapi hanya itu yang aku mampu. Kecelakaan itu telah mengubah segalanya dariku. Merenggut kebahagiaanku, merusak karirku, dan menjatuhkan harga diriku. Semua orang menganggapku layaknya sampah yang berserakan di sudut-sudut pedesaan terpencil.

Pking... suara notivikasi WAku. Itu chat dari salah satu konsumenku. Ia mengirimiku foto wajahnya yang agak kemerah-merahan, sambil memegang serum yang ia beli dariku.
Aku terdiam, memandangi foto yang ia kirim, berusaha memahami apa yang ingin ia katakan padaku.

Pking..."Kau harus tanggung jawab!"

Pking..."Gara-gara sereum yang kau jual wajahku jadi rusak."

Pking..."Aku akan melaporkanmu ke pihak yang berwajib."

Ia tidak memberiku kesempatan untuk membalas chatnya, sampai akhirnya aku bertekad untuk menelponnya.

"Pokoknya kau harus tanggung jawab. Sebagai gantinya kau harus bayar uang 10.000.000.00 kepadaku. Kalau tidak, aku akan melaporkan produk yang kau jual kepada polisi." Ia langsung menutup telponnya, setelah meluapkan semua keluh kesahnya dengan produk cosmetic yang aku jual.

Hari ini, yang bisa aku lakukan hanya menunggu waktu yang tepat yanng telah Allah catat pada goresan pena takdirku. Membangun rumah di kolong-kolong jembatan dengan bermodalkan kardus bekas yang tak terpakai atau menjalani kehidupan baru di balik jeruji-jeruji besi bersama kawanan makhluk yang tak bersahabat dengan uang.

Tamat…

Cinta Segi Empat

"Hei...Manda." Suara Daniel memanggil.
Aku hanya menoleh dan memandanginya dari dari kejauhan. Ia menghampiriku lalu menmegangi tanganku.

"Apa yang kau lakukan?" Tanyaku.
Ia tidak menjawab, melontarkan senyuman tipis. Tanpa kusadari Daniel meletakkan sesuatu di tanganku. Saat kubuka, ternyata sebuah gelang plastik dengan manik-manik kecil berbentuk love.

"Ambillah! Aku membuatnya untukmu." Ucap Daniel.

"Kau seharian membuat gelang ini hanya untukku?"

"Tidak juga, itu hanya sebentar." Ia mencubit pipiku.

"Auuu, itu sakit."
Daniel orangnya emang nyebelin, suka bikin orang lain geram. Tapi entah kenapa aku bisa jatuh cinta padanya.

Daniel tersenyum dan mendekatkan bibir merahnya di telingaku, "Kau tau? Aku menyukaimu."

"Ap" Suaraku tertahan. Daniel membungkam mulutku.

"Kau tak perlu menjawabnya, aku sudah tahu." Ia pun pergi sampai menghilang dari pandanganku. Sedangkan aku masih berdiri mematung di tempat, memikirkan apa yang baru ia katakan.

Tak terasa banyak siswa yang menatapku dengan tatapan misterius, saat aku berjalan menuju kelas. Mungkin mereka semua telah menganggapku gila, sebab melihat tingkahku yang agak aneh, senyam-senyum sendirian. Sebahagia itukah aku dengan kata-kata yang diucapkan oleh Daniel? Dalam benakku.

Setibanya di depan kelas, seseorang menarik tanganku. Dia Zie, teman karibku sejak kelas tiga SD.

"Kita mau ke mana?" Tanyaku.

"Ikut aja!"

Sampai di ruang perpustakaan, Zie menghentikan langkahnya dan melepaskan tanganku dari genggamannya.

"Perpus? Ngapain kita ke sini?" Tanyaku heran.
Setahuku, Zie adalah orang yang paling susah saat diajak untuk belajar.

"Manda, kamu tau gak?" Tanya Zie.

"Apa?" Aku tanya balik. Dari raut wajahnya, Zie tampak bahgia. Akhirnya aku bisa melihatnya kembali tersenyum. Gumamku.

"Aku telah menemukan cinta sejatiku."

"Benarkah?" Aku senang mendengarnya. Zie sudah bisa move on dengan mantannya yang lama.

"Manda, apakah kau tau siapa pria yang aku sukai?" Tanya Zie kapadaku. Kedua tangannya mengepal kedua pundakku.

"Pasti Rehan." Aku menebak.
Zie menggelengkan kepala.

"Adit." Tebakku kedua kalinya.

"Ayolah Manda, kau kurang peka pada sahabatmu ini."
Aku termenung, mencerna pria tipe Zie.
"Pria itu adalah Daniel." Bisik Zie di telingaku.
Refleks wajahku memucat menjadi datar dan mataku tercengang. Rasanya seakan-akan hati ini mendidih, meletup-letup saat mendengar kenyataan ini. Di satu sisi aku menyukai Daniel, di sisi lain Zie adalah sahabatku sejak kecil. Kalau aku memilih Daniel, maka aku harus mengakhiri persahabatan ini. Tapi kalau aku pilih Zie, maka aku harus merelakan Daniel bahagia bersamanya.

"Manda, kenapa kau bengong?" Zie melepaskan kedua tangannya dari pundakku. "Apa kau tidak senang mendengarnya?"

"Enggak kok, aku aku senang mendengarnya. Kau sangat cocok dengan Daniel." Aku tersenyum, mencoba menutupi luka ini darinya. Meskipun itu sangat menyakitkan bagiku.

"Syukurlah." Zie melempar senyuman. "Kalau begitu, ayo kita masuk!" Ajak Zie.
Aku berangguk, tersenyum tipis.

***

"Sss...Manis." Suara Rehan berbisik dari belakang, saat kami sedang di kelas. Namun, aku tak meresponnya.

Ia selalu menyingkat namaku, Amanda Elisa menjadi Manis. Padahal, seharusnya Malis, bukan Manis.

"Manis." Rehan memanggil lagi yang kedua kalinya, tapi agak keras.

Semua mata tertuju padaku dan Rehan. Aku dan dia menjadi pusat perhatian seluruh siswa di kelas. Tak terkecuali Bu Retha yang sedang menjelaskan di depan.

"Rehan, Manda, kalian bisa melanjutkan ngobrolnya nanti saat pulang sekolah!" Bu Retha menatapku dan Rehan dengan tatapan kesal.

"Maaf Bu..." Ucapku menunduk malu.
Tak selang lama secarik pesawat kertas mendarat di atas mejaku. Di kedua sayapnya tertulis, "Manis, nanti kita pulang bareng!"
Aku menoleh ke belakang. Rehan tersenyum, menggerak-gerakkan kedua alisnya.

"Hhh." Aku mengernyit, memalingkan wajah darinya.

Hari ini adalah hari paling mengenaskan dalam hidupku, setelah melalui semua kejadian tadi. Bahkan saat pulang sekolah, hatiku masih kocar-kacir.

"Manda..." Itu suara Daniel.

Aku percepat langkahku, sebisa mungkin untuk tidak melihat wajahnya. Namun, kecepatanku tidak ada apa-apanya bagi Daniel. Ia berhasil menyalipku dan menghalangi jalanku.

"Manda, ada apa denganmu? Kau tidak seperti biasanya?" Tanya Daniel cemas. Daniel memegangi kedua pundakku, tapi aku langsung menepisnya.

"Daniel, tolong jangan temui aku lagi!"
Daniel mencekal erat tangan kananku. "Kau akan pulang bersamaku."

Aku mencoba menepisnya, tapi tidak bisa. Tiba-tiba Rehan datang dan mencekal tangan kiriku. "Tidak! Dia hanya akan pulang bersamaku."

"Hei, kau siapa?" Tanya Daniel membentak.

"Kau yang siapa?" Rehan bertanya balik.

Mereka berdua saling menarik-narik tanganku. Seolah-olah aku mainan yang diperebutkan oleh dua anak kecil yang sedang bertengkar.

"Stop! Lepaskan tanganku!" Bentakku emosi.
Akhirnya Daniel dan Rehan melepaskan tanganku dan aku pun pergi meninggalkan mereka berdua.

***

Keesoakn harinya...

"Hei...Manda." Zie memanggilku, saat aku ada di ruang Laboratorium.

"Zie, sedang apa kau di sini?"

"Manda, aku ingin menceritakan mimpi burukku tadi malam."

"Memangnya kau mimpi apa?"

"Aku bermimpi Daniel."

"Seharusnya kau senang?" Tanyaku heran.

"Seharusnya begitu, tapi..." Zie terdiam sejenak.
"Tapi kenapa?"

Suara Zie mulai tersedu-sedu, tanpa kusadari ia telah mengeluarkan cairan bening dari kedua matanya.

"Hei, kenapa kau menangis?" Aku ambil kedua pipi Zie, menghapus air matanya.

"Dalam mimpiku Daniel menolak cintaku dan lebih memilih wanita lain." Tangisan Zie makin menjadi-jadi.

Aku pun memeluknya. "Tenanglah! Itu hanya mimpi."

"Tapi aku takut mimpi itu jadi kenyataan."

"Akan kupastikan itu tidak akan pernah terjadi."

Setidaknya begitu usahaku untuk mempertahankan persahabatan ini yang telah aku jalani sembilan tahun lamanya. Aku tidak ingin membuang hubungan persahabatan ini hanya karena aku egois memikirkan kebahagiaanku sendiri.

Ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Merelakan orang yang kita cintai bersama dengan yang lain adalah ujian terberat dalam roda kehidupan. Sehari, seminggu, sebulan, bahkan setahun tidak cukup untuk menghapus memori dalam ingatan. Kecuali dengan merestarnya kembali ke pengaturan awal.

Sepulangnya dari sekolah, tiba-tiba seseorang menutup kedua mataku dari belakang. Namun, dari gelang yang ia pakai, aku tahu kalau ia adalah Daniel.

"Daniel, tolong jangan ganggu aku!" Bentakku, menepis kedua tangannya.

"Hei, kenapa kau marah? Ada apa denganmu? Apa kau sakit?" Tanya Daniel khawatir.

"Tolong jangan temui aku lagi!" Ucapku menundukkan kepala. Aku tidak kuat menatap wajahnya. Seakan-akan hati ini akan retak sebantar lagi.

"Manda, tatap mataku!"

Ia telah menyihirku. Mataku berlinang air mata. Aku pun meluapkan semua isi hatiku padanya dan berakhir di pelukannya.

"Aku tau, ini sangat berat bagimu." Daniel mengelus rambutku.

Pada saat itu juga, aku melihat Zie sedang mengawasiku dan Daniel dari kejauhan, lalu ia pergi saat mengetahui kalau aku melihatnya.

Tamat...

Dua Dimensi

Hana membuka matanya. Hembusan angin yang sejuk membuatnya terbangun. Tubuh kecilnya masih terbaring di atas hamparan rumput nan hijau. Namun, ia tampak kebingungan. Tempat itu sangat asing di matanya.

Hana bangun dan melemparkan pandangannya ke penjuru arah. Namun, yang ia tangkap hanyalah hamparan taman yang luas dihiasi dengan jutaan bunga berwarna-warni.

Tak lama dari renungnanya, Hana melihat sosok pria berjubah putih dengan hoodie yang menutupi kepala dan separuh wajahnya. Tinggi pria itu kurang lebih dua meter. Ia mirip orang Spanyol, berkulit putih kemerah-merahan dengan kumis yang agak tebal. Hana tampak cemas saat melihat laki-laki berjubah itu melangkah menuju ke arahnya.

“Akhirnya aku menemukanmu. Berjam-jam aku mengelilingi taman yang luas ini untuk mencarimu.” Laki-laki itu menyapa Hana, seolah-olah mereka sudah kenal lama. Hana yang masih lugu, memasang rasa takut pada laki-laki asing itu. Ia hanya terdiam seribu bahasa memandanginya.

“Jangan takut! Aku tidak akan menyakitimu.” Laki-laki itu berusaha meyakinkan Hana, kalau dia bukan orang jahat.

“K-kamu siapa?” Tanya Hana gugup.

“Kau tidak perlu tahu siapa aku, yang terpenting, sekarang kau harus ikut denganku.” Laki-laki itu menyodorkan tangannya kepada Hana, dengan melemparkan senyuman tipis di wajahnya. Dengan perasaan takut, Hana menyulurkan tangan mungilnya kepada laki-laki itu dan mengikuti arah langkah laki-laki itu berjalan.

Sepoyan angin sejuk membuat rambut Hana yang berombak berkibar. Perlahan, ketakutan Hana pudar. Keelokan ragam mawar yang ada di sekitarnya telah menyihir suasana hati gadis kecil itu menjadi ceria.

“Paman.”
Laki-laki berjubah itu menghentikan langkah kakinya.

“Iya” Sahutnya.

“Boleh aku minta sesuatu?”

“Apa itu?” Tanya laki-laki misterius itu.

“Aku ingin memetik bunga mawar itu.” Jari telunjuk Hana menunjuk salah satu mawar berwarna merah cerah. Bunga mawar itu tampak berbeda dengan yang lain. Ukurannya lebih besar dan bentuknya mirip mahkota yang sering dipakai oleh sosok Princes di film cartoon disney.

Laki-laki itu pun menjulurkan tangannya ke arah bunga mawar yang di tunjuk Hana. Tak selang lama, mawar itu terbang perlahan dan mendarat tepat di tangannya.

Hana terdiam, mencoba mencerna kejadian menakjubkan yang baru ia lihat, sampai laki-laki itu memberikan mawarnya kepada Hana.

Hana sangat bahagia mendapatkan bunga mawar itu. Berulang-ulang kali ia menghirup aroma wangi dari mawar yang ia pegang.

“Mari kita lanjutkan!” Ajak si laki-laki berjubah.
Hana pun mengiakan ajakannya dengan menganggukkan kepala, lalu mereka berdua meneruskan perjalanan.

***

Melewati tempat yang dipenuhi tumbuhan-tumbuhan rindang dengan ragam buah yang semuanya tampak matang. Menyebrangi aliran sungai yang begitu jernih dengan macam ikan hias yang tampak dari permukaan. Semuanya terlihat aneh, seolah-olah Hana berada di negeri dongeng.

“Kalau boleh tahu, kenapa kau bisa sampai ke sini?” Tanya laki-laki itu.

Hana yang kebingungan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Terakhir kali, apa yang kau lakukan?”
Hana terdiam sejenak, mengingat-ingat apa yang ia lakukan terakhir kali.

“Seingatku, terakhir kali aku berbaring di suatu ruangan. Kala itu, aku dikerumuni beberapa orang dengan pakaian serba putih. Seolah-olah aku dibuat bahan percobaan.”

“Bahan percobaan ya.” Laki-laki itu mengulangi perkataan Hana.

“Menurut paman, apa itu penyebab aku berada di sini?”

Belum sempat menjawab, laki-laki itu menghentikan langkahnya. “Kita sudah sampai.”

Mata Hana berbinar, saat melihat apa yang ada di depannya. Di depan sana terlihat bangunan megah layaknya istana. Di sekitar bangunan itu, terdapat kerumunan anak kecil yang seumuran dengan Hana sedang asyik bermain.

"Paman, itu tempat apa?"

"Itu tepat bermain untuk anak-anak baik sepertimu."

"Benarkah?" Hana tampak senang mendengar jawaban dari laki-laki itu.
Lantas laki-laki itu tersenyum dan menganggukkan kepala.

"Tunggu apa lagi, kenapa kau tidak ke sana?"
Hana terdiam, seakan-akan ada sesuatu yang ia pikirkan. Raut wajah Hana menjadi datar.

"Paman, apakah mamaku juga bisa ke sini?" Tanya Hana.
Laki-laki itu tidak menjawab sepatah kata pun.

"Paman, aku ingin pulang!" Pinta Hana.
Laki-laki itu termenung.

"Pamaaan" Hana menarik-narik jubah laki-laki itu.

"Ada satu cara. Tapi ini sangat berbahaya. Apakah kau bersedia?"

Hana mengangguk ringan, seolah tidak yakin dengan tindakannya.

"Di belakang bangunan itu, terdapat portal ruang dan waktu yang bisa mengantarmu pulang ke rumahmu. Tapi..."

"Tapi apa paman?" Hana memotong pembicaraan.

"Aku tidak yakin kau bisa melewatinya. Siapapun yang masuk ke dalam portal itu akan terombang-ambing oleh mesin waktu dan dapat membuatnya tersesat. Kalau kau tidak bisa berhasil melewatinya, kau tidak akan bisa pulang untuk selama-lamanya."

Dalam hati Hana mulai tumbuh benih-benih keraguan untuk memasuki portal itu.

"Bagaimana, apakah kau bersedia?" Laki-laki itu bertanya kedua kalinya.

"I-iya paman, aku siap."Hana berusaha meyakinkan dirinya untuk masuk ke dalam portal waktu.

"Kalau begitu, mari ikut aku! Akan kutunjukkan terpat portal itu berada."

Mereka pun menuju ke tempat portal itu, melewati bangunan megah berwarna putih salju, dengan hiasan batu permata kecil di sekelilingnya.

"Paman, gedung ini milik paman?" Tanya Hana.

"Bukan, aku hanyalah penjaga di sini." Jawabnya.

Laki-laki itu berhenti tepat di pinggir pusaran lubang hitam yang agak besar, kira-kira cukup untuk dimasuki dua orang dewasa.

"Kita sudah sampai. Ada pertanyaan terakhir, sebelum kita berpisah?"

"Nama paman siapa?"

"Ridwan." Jawab laki-laki itu singkat.

Hana memejamkan kedua matanya dan melangkahkan kakinya perlahan menuju portal itu.

"Hanaaa, Hanaaa, kau dengar suara mama?"

"Mamaaa." Hana membuka matanya perlahan.

"Dokter, Hana sudah sadar."
Beberapa orang berpakaian putih memeriksa kondisi Hana.

"Maaah, mama jangan pergi, jangan jadikan aku bahan percobaan!" Hana mencekal erat tangan mamanya.

"Iya sayang, mama gak akan ninggalin kamu."

Tamat...

Cinta Itu Gila

الحب جنون - طويل

سأهدي لك الاحلى دواما تحية ÷ و شوقا خلوصا من صميم الفؤاد لي
حديد السيوف اليوم ما ضر خادشا ÷ لذكرك في جسمي وإني بعاقل
برؤيا نواحيك الليالي بعيدة ÷ شعوري دواما إضطراب بمأملي
ورجلاي في أرض يسمرانها ÷ بأتيك كالمصباح فيما منازل
كأني أسير مثل عبد بمحبس ÷ لقاء بك المحبوب دهرا بمأقلي
وأنت الضياء البدر بين النجوم في ÷ جميع الكمال النعت من أن تقابلي
نساء فيحببن الزمان الحقيق لا ÷ معات الزهور الصبح لي كل هائلي
وفيهن ما قد كنت من ذا براغب ÷ وبل راغب إني أنا فيك بالجلي
شعاع لحلوى الوجه فيك الجميل أن ÷ نه ساحر أدى جنونا بعاجل
بديع لياقوت نذير وجوده ÷ كما عينك الحسنى تداوي مسائلي
تبسمت كالسهم الذي حد صارما ÷ ومن قوسه المطلوق ويهدي تأملي
ومن صوتك الصافي تكلمت بالرخي ÷ م كالسيف للهندي في قطع ما يلي
عسى الله دوما أن تكوني سرورة ÷ وأدعوك في فوز الحياتين تحصلي

Pujian Orang Hina kepada Orang Mulia

المدح من الحقير الى الشريف - بسيط

الحمد لله حمد الحامدين له @ ثم الصلاة على من ضاء كالقمر
لايوجد المثل بالمخلوق بالحسن @ فإنه زينة وسيد البشر
وأنه التاج والمشير للرسل @ واحسن الخلق والخلق في الغرر
لوصفه الكامل الفصيح في اللغة @ وابلغ البلغاء غير مقتدر
وليس في وجهه الكذاب قد علم @ ولا يقول سوى الحقوق في الخبر
كالمسك يخرج من فيه إذا نطق @ كأنما نطق في الرخم بالدرر
ويسمعن سمعه الصرير للقلم @ و ثاقب للسماء السبع بالبصر
ويوجد الاحسن طيبا بجسده @ ولا يكون به شبه من العطر
وسلم الشجر عليه والحجر @ والإنشقاق له المأمور في القمر
وصل يارب عالم عليه بص @ لاة على الابد كعدد الحجر


Esensi Barakah dan Tabarruk

البركة والتبرك - بسيط

لا يصلح المرء ما بركة حصل ÷ ولا تحاز متى يكون في الظلم
لا تبتنى الدار إلا ولها الأسس ÷ ولا أساس إذا لم يقو كالعدم
فكيف يلقى جسيمها وفي الظلم ÷ يسيح والله إنها لمغتنم
هي الرياح تحس ولا يرى أحد ÷ هي المياه لذي الصحة والسقم
ما المحق في المرء إلا لمن الشرر ÷ بركة الرب في الخير وفي الكرم
طوبى لمن بالتبرك ليعتصم ÷ كأنما غاص في المحيط من نعم
ليس التبرك بالضلال متهما ÷ فإنما هو توسيل لذي الحكم
بالذات والأثر المخلوف من غرر ÷ كذاك إرث مكان صالح الأمم
أكرم بسالك خير منهج السبل ÷ ما أرذل الكاف والمدبر للحكم

Hati Yang Berkarat

القلب الصادئ - سريع

صنوبري الشكل قلب أتى ÷ في بطنه الروح وهذي تفور
صلاحه صلاح جسم بدا ÷ بحسنه زال الجميع القصور
إياه زين ببدور الكما ÷ ل تبلغ الغاية في ذا السرور
مصباح بيت يستضاء الذي ÷ فيه إذا يأتيك وصف الطهور
مثل الأسير في وصول إلى ÷ ما طأطأت مهما يقال الذكور
عليه مهما تغلب النفس لا ÷ محال قد بان أميرا يجور
جندان في قلب على هازم ÷ بالعين شوهدا كذا بالصدور
كانا مهاجمين أعدائك ال ÷ لاتي تريد فيك أقصى الفطور
ناهيك بالشنيع مستعبدا ÷ فالييس نفسه وثم الفتور
قد يصدأ القلب كما يصدأ ال ÷ حديد سوداء بما بعد نور
من الصدى جلاؤه يا أخي ÷ بذكرك الموت رعاك الشكور

Dakwah di Jalan Allah

الداعي إلى الله

إلى سبيل الرحيم ادعوا أيا البشر ÷ فالدين في الكون بالدعوة منتشر 
بأية الحق فالوعظ الذي لطف ÷ ثم الجدال على ذلك تقتصر
لو لا الدعاة إلى مناهج الرشد ÷ لما أقيم لأمر الناس منكسر 
وما استقام لكل ميلهم عوج ÷ بل أصبحوا صغر الأغنام ينتشر
طوبى فطوبى لمن دعا إلى اللمع ÷ فإنه بطل للدين ينتصر
له الثواب وكل أجر من تبع ÷ كعد ما حازه قد جاءه الخبر
ناهيك بالشر شرا أن يكون له ÷ إلى الظلام دعا كمن له الشرر

Sabtu, 13 April 2024

Cendekiawan Muslim di Bidang Ilmu Filsafat

               Pada abad ke sembilan sampai akhir abad ke sebelas, Islam mengalami perkembangan sangat pesat dalam bidang ilmu pengetahuan. Masa ini disebut dengan "zaman keemasan Islam".
                Masa ini terjadi pada saat kekhilafahan Abbasiyah (750-1517 M). Masa keemasan ini ditandai dengan berkembangnya beberapa lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun informal. 
               Pada masa itu juga banyak melahirkan cendekiawan-cendekiawan Muslim yang terkemuka dalam bidangnya. Salah satunya adalah cendekiawan Muslim dalam bidang ilmu filsafat. Berikut tokoh-tokoh cendekiawan Muslim dalam ilmu filsafat:

1. Al-Kindi
                Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya'kub bin Ishaq bin Shabbah bin Imran bin Ismail al-Ash'ats bin Qais al-Kindi, lahir di Kufah (Irak) pada tahun 801 M tepatnya pada masa Daulah Abbasiyah. Filsuf pertama dalam Islam yang menyelaraskan antara agama dan filsafat. Al-Kindi juga banyak menyoroti bidang meteorologi, astronomi, dan kedokteran.
               Para sejarawan memberinya gelar "Filosof Arab", karena ia adalah satu-satunya filsuf Muslim yang diakui dunia yang asli keturunan Arab. 
               Al-Kindi telah banyak menyumbangkan karyakaryanya yang meliputi berbagai bidang ilmu. Ibnu Nadhim mengatakan bahwa al-Kindi telah merilis 260 karya yang mencangkup dalam bidang filsafat, logika, dan kosmologi. 

2. Ibnu Shina
               Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abul Husain bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina. Ia juga dikenal dengan sebutan Abu Ali al-Husayn bin Abdullah. Dilahirkan di Afsyana dekat Bukhara pada tahun 980 M dan meninggal pada tahun 1037 M pada usianya yang mencapai 58 tahun.
               Ibnu Shina adalah salah satu cendekiawan yang berjasa dalam menerjemahkan karya-karya Aristoteles dan memadukannya dengan ajaran agama Islam. Dalam Dunia Barat ia dikenal dengan nama Avicenna. Karya-karyanya yang populer dalam ilmu filsafat adalah al-Isyart wa Tanbihat dan al-Hikmat al-Masyriqiiyah

3. Al-Ghazali
               Ulama terpenting dalam pemikiran Islam yang hidup pada tahun 1058-1111 M. Ulama yang bergelar Hujjatul Islam ini bernama Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Lahir di Thus, Khurasan, Persia (Iran) dan wafat juga di Thus. 
               Di Barat al-Ghazalu dikenal sebagai seorang filsuf dan teolog muslim Persia, dengan sebutan Algazel, khususnya pada abad Pertengahan (Von Dehsen, 1999:75). Dua maha karyanya dalam bidang filsafat adalah Maqasidul Falasifah dan Tahafutul Falasifah. 

4. Ibnu Rusyd
               Ahli fikih yang hidup pada tahun 1126-1198 M. Ibnu Rusyd dikenal di Barat sebagai Averroes. Nama lengkapnya adalah Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd. Lahir di Cordoba, Andalusia, pada tahun 1126 M.
              Ibnu Rusyd menjadi populer karena pandangan-pandangannya yang mengkritik pandangan al-Ghazali. Karyanya yang berjudul Tahafutut Tahafut atau Incoherence of Incoherence adalah bantahan sistematis untuk pemikiran al-Ghazali dari bukunya, Tahafutul Falasifah atau Incoherence of Philosophy. 

5. Al-Farabi
               Abu Nasr Muhammad al-Farabi, juga dikenal dalam bahasa Arab sebagai al-Muallim ath-Thani. Ia adalah salah satu filsuf Muslim terbesar di dunia.
               Al-Farabi memiliki kontribusi yang sangat besar dalam dunia filsafat, sehingga tidak bisa diukur dengan pemikiran Aristotelianisme dan Platonik. Maha karyanya yang terpenting dalam ilmu filsafat adalah Ara' Ahli Madinah al-Fadilah. 

6. Ibnu Khaldun
               Bapak Sosiologi yang hidup pada tahun 1332-1406 M. Ia merupakan syekh dari semua ilmuan sosial. Nama lengkapnya Waliyuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman bin Khaldun. 
               Ibnu Khaldun adalah pemikir besar Islam pertama yang lebih mengedepankan pemikiran empiris dari pada normatif. Ia juga berjasa dalam mengembangkan metode historiografi yang menyangkal mitos dan manipulasi. Karya fenomenalnya yang memadukan filsafat dengan sejarah adalah al-Bidayah wan Nihayah. 

7. Ar-Razi
              Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi atau dikenali sebagai Rhazes di dunia Barat merupakan salah seorang pakar sains asal Iran yang hidup pada tahun 864-925 M. Sejak muda ar-Razi telah mempelajari ilmu filsafat, kimia, matematika, dan kesastraan.
              Syekhul Islam Fakhruddin ar-Razi dikenal sebagai sultan para teolog dan guru orang-orang skeptis. Dalam dunia filsafat, beliau memiliki pengaruh yang sangat besar. Karya filsafat ar-Razi banyak banyak dituangkan dalam kitab tafsirnya yang bertajuk Fafatihul Ghoib. Kitab ini memiliki daya tarik tersendiri, disebabkan gaya penulisannya yang tidak menyamai kitab-kitab mufassir yang lain. 
               Itulah segelintir cendekiawan-cendekiawan Muslim yang berkontribusi besar dalam perkembangan bidang ilmu filsafat di era keemasan Islam. 

Senin, 08 April 2024

Imam Ghazali dan Ihya Ulumuddin

               Imam Ghazali, seorang ulama terkemuka di zamannya yang memiliki banyak karangan. Keilmuannya disegala bidang tidak bisa diragukan. Bahkan beliau mendapat gelar Hujjatul Islam karena kehebatannya untuk mematahkan argumentasi para pemikir sesat.
               Selain itu, beliau juga dikenal sebagai tokoh sufi legendaris yang mampu mengkonsepkan ajaran tasawuf secara spesifik. Hal ini dibuktikan dengan beberapa karangannya yang tersebar di penjuru dunia. 
                Salah satu karya fenomenalnya yang best seller dan sering dibuat acuan dalam penelitian adalah kitab Ihya Ulumuddin. Kitab ini disusun pada era kejayaan politik Dinasti Abbasiyah atau sekitar abad 9-10 yang merupakan masa keemasan Islam dalam ranah politik.
                Pencapaian ini membawa implikasi kemakmuran umat Islam secara material. Bahkan tidak sedikit ulama yang terjun dalam struktur kekuasaan politik pada saat itu. 
               Seiring berjalannya waktu, masyarakat Muslim banyak yang terpedaya dengan kemewahan material dan pengetahuan tentang keagamaan banyak digunakan untuk melegitimasi kekayaan duniawi serta memperkuat posisi politis.
               Karena melihat keagamaan masyarakat sedang tidak baik-baik saja, Imam Ghazali, berisiniatif untuk mengang kitab yang dapat membangun kembali nilai-nilai agama secara murni. 
               Sejak itulah, esensi agama sebagai jalan untuk menuju kebahagiaan dunia dan akhirat bisa tercapai. Berkat kitab ini juga, Imam Ghazali banyak mendapat respon positif dari berbagai kalangan. Baik cendekiawan Muslim maupun Non-muslim. 

Urgensitas Ilmu Filsafat

               Perlu diketahui, bahwa filsafat merupakan salah satu bidang ilmu yang masih diperselisihkan oleh ulama legalitasnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh dampak yang timbul bagi orang-orang yang menelitinya. 
               Tidak sedikit dari pelajar yang mendalami ilmu ini, cendrung pada liberalisme dalam beragama. Sehingga banyak memunculkan generasi-generasi yang anti-agama. Sebab, tidak semua sesuatu di dunia ini bisa dijangkau oleh logika. 
               Untuk itu, siapapun yang ingin mendalami bidang ini, harus mempunyai bekal yang cukup dan mumpuni untuk menolak ideologi-ideologi yang menyimpang. 
               Dalam literatur syariat, ulama terbagi menjadi tiga golongan, untuk menyikapi orang-orang yang mempelajari ilmu filsafat. Pertama, haram secara mutlak. Pendapat ini dijunjung tinggi oleh Imam Ibnu Sholah dan salah satu murid kesayangannya, Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi. 
               Kedua, disunnahkan. Pendapat ini dipilih oleh Imam al-Ghazali dan sekelompok filsuf Muslim. Bahkan al-Ghazali berkomentar, "Orang yang tidak mempelajari ilmu filsafat, tidak bisa dipertanggungjawabkan keilmuannya."
               Pendapat ketiga diperinci. Legal bagi orang mempunyai pegangan yang kuat dan cerdas dalam menyikapi problematika. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki wawasan luas dan berotak cerdas tidak dilegalkan mempelajari ilmu ini. 
                Dari ketiga golongan di atas, pendapat terakhir yang dipilih oleh kebanyakan ulama. Oleh karena itu, bagi kalian yang ingin mempelajari ilmu ini, seyogyanya mendalami ilmu agama terlebih dahulu, agar tidak terperangkap dalam pemahaman-pemahaman yang telah diselewengkan.